Free INDONESIA Cursors at www.totallyfreecursors.com

Selasa, 29 November 2016


MENGENAL PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA TERHADAP PENGIDAP HIV/AIDS DI INDONESIA DAN REKOMENDASI SOLUSI
           
BAB I
PENDAHULUAN

1.1.  LATAR BELAKANG
Hukum merupakan sarana untuk mengatur berjalannya kehidupan bermasyarakat dan perkembangannya. Di dalam mengatur kehidupan bermasyarakat merupakan hal yang sangat penting untuk melindungi kepentingan masyarakat itu sendiri. Dengan adanya hukum, hak-hak masyarakat dapat terpenuhi. Hak-hak tersebut salah satunya adalah hak asasi manusia yang merupakan hak mendasar bagi setiap orang. Hak asasi manusia sebagai hak mendasar perlu dipenuhi. Salah satu hak asasi manusia yang mutlak untuk dipenuhi adalah hak untuk hidup sebagaimana hak-hak yang telah dicantumkan di dalam DUHAM (Deklarasi Hak Asasi Manusia) sebagai Hak Sipil dan Politik.  Di dalam menjalani kehidupan manusia yang layak maka manusia juga perlu memperoleh perlakuan yang sama tanpa memandang Suku, Agama, Ras, dan Golongan. Indonesia merupakan negara yang menjamin hak-hak asasi manusia dan juga telah meratifikasi konvensi-konvensi Internasional terkait hak asasi manusia artinya Indonesia juga menjamin hak untuk hidup dan hak untuk tidak memandang berbeda Suku, Agama, Ras dan Golongan.
Dalam tulisan ini, penulis akan memfokuskan pada perlakuan yang berbeda (diskriminasi) terhadap pengidap HIV/AIDS. Pengidap HIV/AIDS di Indonesia antara tahun 2005 dan 2015 bertambah rata-rata 3,2%. Pada tahun 2015, HIV/AIDS membunuh 18.560 penduduk Indonesia. Pada Desember 2016, terdapat 735.256 orang di Indonesia yang hidup dengan HIV dan berisiko menjadi AIDS. Jumlah yang sangat besar dan bahaya penyakit HIV/AIDS yang mengintai masyarakat Indonesia tentu saja membutuhkan penanganan yang layak dari penanganan kesehatan hingga dari segi perlakuan yang tidak diskriminatif terhadap pengidap HIV/AIDS. Pelayanan kesehatan yang layak tersebut, termasuk yang ditujukan kepada pengidap HIV/AIDS sehingga terwujudkan adanya perlindungan hak asasi manusia yang harus diberikan kepada setiap orang tanpa terkecuali. Namun, adanya diskriminasi terhadap pengidap HIV/AIDS di Indonesia masih sering terjadi dikarenakan banyak faktor dan hal tersebut memberikan hambatan terhadap pengidap HIV/AIDS untuk memperoleh hak asasi manusianya baik dalam segi pelayanan kesehatan maupun secara sosial. Oleh karena itu, di dalam tulisan ini penulis berupaya untuk memberikan pemahaman mengenai penerapan perlindungan hak asasi manusia terhadap pengidap HIV/AIDS sebagaimana yang tertera di dalam peraturan-peraturan di Indonesia dan Peraturan mengenai hak asasi manusia yang diakui secara internasional serta bagaimana solusi agar perlindungan hak asasi manusia terhadap pengidap HIV/AIDS dapat tercapai.

1.2.  RUMUSAN MASALAH
1.2.1.Pelanggaran hak asasi manusia apa saja yang terjadi terhadap pengidap HIV/AIDS di Indonesia?
1.2.2.Bagaimana peraturan mengenai pelanggaran hak asasi manusia tersebut di Indonesia?

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM)
Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. (Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia). Secara Internasional terdapat prinsip-prinsip HAM yang dibebankan kepada setiap negara untuk melindungi hak-hak tertentu yaitu: prinsip kesetaraan, prinsip pelarangan diskriminasi dan prinsip kewajiban positif untuk melindungi hak-hak tertentu.
Prinsip Kesetaraan menjelaskan bahwa harus adanya perlakuan yang sama di mata hukum terhadap masyarakat pada situasi yang sama, namun prinsip ini juga bisa diterapkan kepada masyarakat yang memang membutuhkan perlakuan yang berbeda untuk mencapai kesetaraan yang sama di masyarakat. Prinsip pelarangan diskriminasi yang artinya adalah tidak melakukan kesenjangan atau perbedaan perlakuan. Jenisnya ada 2 yaitu diskriminasi langsung dan diskriminasi tidak langsung. Prinsip kewajiban positif untuk melindungi hak-hak tertentu artinya negara tidak boleh dengan sengaja mengabaikan hak-hak dan kebebasan-kebebasan yang dimiliki masyarakat dan harus memegang peranan aktif untuk memenuhi hal-hal tersebut.
Jadi, HAM adalah hak-hak yang dimiliki manusia semata-mata karena ia manusia. Umat manusia memilikinya bukan karena diberikan kepadanya oleh masyarakat atau berdasarkan hukum positif, melainkan semata-mata berdasarkan martabatnya sebagai manusia. Ketiga prinsip HAM  yang disebutkan diatas adalah prinsip yang harus dapat dipegang oleh suatu negara yang telah meratifikasi perjanjian internasional terkait hak asasi manusia.
Pelanggaran Hak Asasi Manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat Negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-Undang ini, dan tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku. (Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia)
Dalam rumusan yang lain, pelanggaran HAM adalah tindakan atau kelalaian oleh Negara terhadap norma yang belum di pidana dalam hukum pidana nasional tetapi merupakan norma HAM yang diakui secara internasional. Pelanggaran Negara terhadap kewajibannya itu dapat dilakukan baik dengan perbuatannya sendiri (act of commision) dan oleh karena kelalaiannya sendiri (act of ommission).
Dari rumusan pengertian di atas terlihat bahwa pihak yang bertanggung jawab adalah Negara, bukan individu atau badan hukum lainnya. Jadi tanggung jawab Negara itu tanggung jawab yang timbul sebagai akibat dari pelanggaran terhadap kewajiban untuk melindungi dan menghormati HAM oleh Negara. Kewajiban tersebut juga menyiratkan bahwa Negara berkewajiban untuk mengambil langkah-langkah pencegahan agar tidak terjadi pelanggaran dan apabila Negara gagal dalam hal itu ataupun sama sekali tidak bertindak maka Negara tersebut harus bertanggung jawab, begitu juga apabila negara tidak menerapkan konvensi-konvensi yang telah di ratifikasi karena komite akan menganggap suatu negara tidak melaksanakan kewajibannya menurut perjanjian tersebut jika kehidupan masyarakatnya tidak sesuai dengan isi konvensi-konvensi yang telah diratifikasi.

2.2 Human Immunodeficiency Virus dan Acquired Immunodeficiency Syndrome
HIV/AIDS adalah sebuah penyakit yang disebabkan oleh  virus HIV, yang merusak sistem kekebalan tubuh manusia, akibatnya tubuh menjadi rentan terhadap serangan penyakit. Sehingga menyebabkan penderitanya menjadi lemah dan semakin lemah setiap harinya karena tidak adanya kekebalan tubuh yang menghalangi penyakit lain menyerang orang tersebut. Penyakit HIV/AIDS ini perlu diwaspadai karena menyebar dengan cepat dan dapat menyerang semua orang dan hal yang paling menghiraukan adalah HIV/AIDS merupakan penyakit yang belum ditemukan obatnya. Penyakit ini apabila tidak mendapatkan perawatan yang memadai, penderitanya memiliki resiko  tinggi meninggal dunia. Seorang yang menderita penyakit HIV/AIDS tidak dapat diketahui dengan hanya melihat fisik orang tersebut saja tetapi harus dilakukan pemeriksaan melalui tes darah yang akan memberikan hasil positif atau negatif.
Terdapat beberapa cara penularan dari HIV/AIDS diantaranya melalui hubungan seksual dengan pengidap HIV/AIDS, transfusi darah dengan darah yang sudah terinfeksi HIV/AIDS, penularan melalui jarum suntik dan benda-benda tajam lainnya yang tidak disterilisasi dengan benar,  janin di dalam kandungan dapat lahir dengan terserang HIV/AIDS  melalui asi  ibunya. WHO (Word Health Organization) mendefinisikan kasus HIV/AIDS adalah keadaan dimana terdapat hasil tes positif untuk antibodi HIV dengan disertai munculnya satu atau lebih tanda-tanda atau gejala-gejala seperti yang disampaikan Cock et al (2002) yaitu berat badan menurun lebih dari 10% disertai dengan diare kronis atau demam terus menerus lebih dari 1 bulan, cryptococcal meningitis, pulmonary atau kerusakan syaraf.

2.3 Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) terhadap Pengidap HIV/AIDS di Indonesia
Pelanggaran HAM terhadap pengidap HIV/AIDS telah banyak terjadi di masyarakat nasional dan masyarakat internasional. Berawal dari stigma atau pemahaman masyarakat terkait HIV/AIDS. Penyakit HIV/AIDS dianggap oleh masyarakat sebagai penyakit yang penularannya mudah dan mematikan sehingga masyarakat lebih memilih untuk menjauhi orang yang terkena HIV/AIDS. Selain itu sebagian dari masyarakat juga memiliki anggapan bahwa HIV/AIDS diderita oleh orang yang berperilaku buruk dilihat dari penularannya yaitu dari seks bebas dan melalui jarum suntik sehingga atas pemahaman tersebut masyarakat menjauhi pengidap HIV/AIDS. Tentunya stigma atau pemahaman ini telah membawa masyarakat kepada perlakuan yang berbeda terhadap pengidap HIV/AIDS dalam hal ini adalah perlakuan diskriminasi, padahal telah dinyatakan di dalam konvensi internasional bahwa diskriminasi menciderai hak asasi manusia itu sendiri.
Goffman (1963) mengemukakan istilah stigma merujuk pada keadaan suatu kelompok sosial yang membuat identitas terhadap seseorang atau kelompok berdasarkan sifat fisik, perilaku, ataupun sosial yang dipersepsikan menyimpang dari norma-norma dalam komunitas tersebut. pengertian lain tentang diskriminasi dikemukakan oleh Busza (1999) bahwa diskriminasi adalah perbuatan atau perlakuan berdasarkan stigma dan ditujukan kepada pihak yang terstigmatisasi.
Di Indonesia pun terjadi pelanggaran HAM terhadap pengidap HIV/AIDS yaitu masyarakat melakukan tindakan diskriminasi dikarenakan stigma negatif maupun kesalahpahaman seperti yang dijelaskan diatas. Padahal penularan penyakit ini juga dapat terjadi dari transfusi darah maupun dari seorang ibu kepada anaknya. Diluar dari itu kita tidak patut untuk membedakan perlakuan dari segala aspek kehidupan terutama terhadap pengidap penyakit HIV/AIDS. Selain itu, fakta bahwa HIV/AIDS masih belum dapat disembuhkan membuat masyarakat menjadi takut akan penyakit ini sehingga dengan kurangnya pengetahuan masyarakat dan pemahaman yang salah, masyarakat tidak hanya takut terhadap penyakitnya tetapi juga terhadap orang yang terinfeksi penyakit tersebut.
Masyarakat di Indonesia sering menyimpulkan bahwa pengidap HIV/AIDS merupakan seseorang yang melanggar norma agama dan norma sosial yang berlaku di masyarakat dan bertindak tidak benar sehingga terinfeksi penyakit yang mematikan. Hal tersebut dijadikan alasan pembenar bagi masyarakat untuk berpandangan negatif terhadap pengidap HIV/AIDS.
Bentuk-bentuk stigma dan diskriminasi terhadap pengidap HIV/AIDS, antara lain adanya penolakan oleh keluarga, teman atau masyarakat terhadap pengidap HIV/AIDS sehingga penderita HIV/AIDS dijauhi, tidak mendapatkan kesempatan kerja, tidak dapat masuk ke dalam organisasi,  tidak mendapatkan pelayanan kesehatan yang sesuai. Selain itu, stigma yang telah ada di dalam pola pikir masyarakat terhadap pengidap HIV/AIDS bahwa pengidap HIV/AIDS mendapatkan penyakitnya lewat seks bebas, narkoba atau perbuatan lain yang melanggar moral menyebabkan pengidap HIV/AIDS disalahkan atas penyakitnya, dilecehkan baik lisan maupun fisik. Anak-anak yang terinfeksi HIV/AIDS lewat orang tuanya yang telah meninggal pun mengalami diskriminasi. Selain itu, pelanggaran Hak Asasi Manusia terhadap pengidap HIV/AIDS terlihat dalam bentuk pembukaan status HIV seseorang pada orang lain tanpa seijin penderita dan melakukan tes HIV tanpa adanya informed consent (Diaz et al, 2011).
Bentuk-bentuk stigma dan diskriminasi lainnya berupa tidak mempunyai kebebasan dari perlakuan yang tidak manusiawi atau penghinaan seperti isolasi dan, tidak mendapatkan perlindungan hukum yang sama dengan orang biasa seperti tidak diberikan nasihat atau layanan hukum, tidak mempunyai hak untuk menentukan nasibnya sendiri, tidak mempunyai hak untuk menikah dan mempunyai keluarga seperti aborsi atau sterilisasi yang dipaksakan, dan dalam pendidikan juga tidak didukung juga terdapat penolakan ketersediaan perumahan atau layanan sosial sehingga kesejahteraan sosial dan perumahan tidak terwujud pada pengidap HIV/AIDS.
Tidak dapat dipungkiri bahwa masih banyak masyarakat yang memiliki stigma negatif terhadap penderita HIV/AIDS, hal ini dibuktikan dari data tabel dibawah ini:
Tabel 1.1
Dalam data Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional tahun 2015 terdapat survey berdasarkan sampel di masyarakat bahwa pengetahuan masyarakat terhadap HIV/AIDS relatif kurang dan persepsi masyarakat masih negatif terhadap pengidap HIV/AIDS. Dalam lingkup yang lebih kecil, keluarga, tetangga dan tokoh masyarakat di sekitar pengidap HIV/AIDS tidak memberi respon positif terhadap pengidap HIV/AIDS tersebut.

2.4 Peraturan Nasional Mengenai Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) terhadap Pengidap HIV/AIDS di Indonesia
Peraturan nasional terkait HIV/AIDS tentunya tidak lepas dari peraturan internasional yang telah diratifikasi oleh Indonesia terkait HIV/AIDS. Tidak hanya peraturan internasional pemahaman akan hak asasi manusia terkait HIV/AIDS dapat juga berasal dari konvenan internasional, hukum kebiasaan internasional, kesepakatan bilateral dan regional,  deklarasi organisasi-organisasi internasional dan regional, kebijakan internasional dan praktik yang diterapkan di kalangan masyarakat internasional. Hal ini terjadi karena penanganan hak asasi manusia khususnya terkait HIV/AIDS bukan hanya merupakan permasalahan nasional semata, tetapi lingkup permasalahannya terutama terkait diskriminasi telah terlebih dahulu menjadi isu internasional. Fakta dari United Nation Programme on HIV and AIDS (UNAIDS) menyebutkan bahwa 18,2 miliar orang di dunia hidup dengan HIV/AIDS dan setiap 1 tahun ada 1 miliar orang di dunia meninggal karena penyakit tersebut. Karena banyaknya orang di dunia yang terkena HIV/AIDS tentunya penanganan dan perlindungan hukum bagi mereka harus dapat terpenuhi.
Salah satu hak asasi manusia yang di junjung tinggi adalah hak untuk mendapatkan pekerjaan yang layak serta menerima perlakuan yang layak di tempat kerja. Dengan menyetujui untuk mengikuti ILO (International Labour Organisation) dan telah menyetujui kode etik terkait HIV/AIDS di tempat kerja artinya dalam peraturan tenaga kerja seharusnya negara Indonesia telah menjaga dan menjunjung tinggi hak-hak pekerja HIV/AIDS yang hakiki. Dalam kode etik tersebut membahas mengenai:non diskriminasi, kerahasian data pribadi pekerja HIV/AIDS, kelanjutan hubungan pekerjaan artinya bahwa ketika pekerja terinfeksi HIV/AIDS maka tidak menjadi alasan kepada perusahaan untuk memecat pekerja tersebut,dan akhirnya adalah kepedulian dan hak untuk memperoleh kepedulian dan dukungan.
United Nations Children’s Fund (UNICEF) adalah organisasi bentukan PBB yang kemudian melahirkan komitmen terkait penanganan dan perlakuan yang layak bagi seorang anak yang menderita HIV/AIDS dan bahkan melakukan juga tindakan pencegahan terhadap anak yang belum menderita HIV/AIDS dengan memberikan pemahaman pada masa remaja terkait penyakit tersebut.Selain program komitmen yang dilakukan oleh UNICEF dan Indonesia adalah mengenai keselarasan peraturan tentang perlakuan tanpa diskriminasi terhadap anak penderita  HIV/AIDS dan komitmen terkait peraturan yang mengakomodir pemberian hak yang layak kepada anak dengan HIV/AIDS.
Terkait kesehatan, Indonesia telah terikat komitmen dengan WHO (World Health Organization) tentang pelayanan kesehatan dan HIV/AIDS. Dalam hal pemberian pelayanan kesehatan yang layak bagi penderita HIV/AIDS dan masyarakat, Rumah Sakit berkewajiban untuk melakukan standart internasional terkait penanganan terhadap penderita HIV/AIDS dan hal ini juga berdampak pada menurunnya penularan penyakit ini melalui penanganan yang baik dari pekerja dan dokter di rumah sakit.
Permasalahan pokok yang menyangkut hukum berkaitan dengan maraknya kasus HIV/AIDS adalah bagaimana menyeimbangkan antara perlindungan kepentingan masyarakat dengan kepentingan kepentingan individu pengidap HIV/AIDS (Indar, 2010). Terdapat dua hak asasi fundamental yang berkaitan dengan epidemik HIV/AIDS yaitu hak terhadap kesehatan dan hak untuk bebas dari diskriminasi.
Pada kenyataannya jalan keluar dari masalah diskriminasi terhadap pengidap HIV/AIDS jauh lebih kompleks dan sulit. Peraturan nasional yang ada belum dapat menanggulangi adanya diskriminasi terhadap pengidap HIV/AIDS. Selain itu hak-hak pengidap HIV/AIDS yang juga tertera sebagaimana terdapat di Undang-Undang Dasar 1945 amandemen ke empat terkait hak untuk membentuk keluarga dan untuk melanjutkan keturunan,hak untuk mendapatkan pendidikan, hak untuk mendapatkan pekerjaan dengan perlakuan yang adil dan layak masih belum dapat diakomodir oleh pemerintah melalui peraturan perundang-undangan yang ada. Peraturan perundang-undangan yang telah mengatur terkait HIV/AIDS adalah sebagai berikut:
  • Peraturan Presiden RI Nomor 75 Tahun 1996 tentang Penanggulangan AIDS Nasional
  • Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor: 760/Menkes/SK/VI/2007 tentang Penetapan Lanjutan Rumah Sakit Rujukan Bagi Orang dengan HIV dan AIDS (ODHA)
  • Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor: 812/Menkes/SK/VII/2007 tentang Kebijakan Perawatan Paliatif
  • Peraturan Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat RI Nomor: 02/PER/MENKO/KESRA/I/2007 tentang Kebijakan Nasional Penanggulangan HIV AIDS Melalui Pengurangan Dampak Buruk Penggunaan Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif Suntik
  • Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik Tahun 1966
  • Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya Tahun 1966
  • Konvensi tentang Hak-Hak Anak Tahun 1989

Peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang penanggulanan HIV/AIDS dari segi kesehatan, pada prakteknya tidak dapat dijalankan secara maksimal dari segi pelayanan karena masih terdapatnya diskriminasi di dalam masyarakat.
1. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan diatur:
- Pasal 4 : Setiap orang berhak atas kesehatan. Hak kesehatan adalah aset utama keberadaan umat manusia karena terkait dengan kepastian akan adanya pemenuhan atas hak lainnya, seperti pendidikan dan pekerjaan
- Pasal 5 : Hak atas pelayanan kesehatan. menyatakan bahwa terdapat kesamaan hak tiap orang dalam mendapatkan akses atas sumber daya kesehatan, memperoleh pelayanan kesehatan yang aman, bermutu dan terjangkau.
- Pasal 8 : Setiap orang berhak mendapatkan informasi tentang data kesehatan dirinya termasuk tindakan dan pengaobatan atas dirinya
- Pasal 57 : Hak atas kerahasiaan, setiap orang berhak atas rahasia kondisi kesehatannya.
2. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran juga mengatur mengenai rahasia medis dan rekam medis, terdapat dalam paragraf 3 dan 4 tentang rekam medis dan rahasia kedokteran.
3. TAP MPR No.XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia diatur :
- Pasal 1 : Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan kehidupannya.
- Pasal 9 : Setiap orang dalam hubungan kerja berhak mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak.
- Pasal 11 : Setiap orang berhak atas kesempatan yang sama untuk bekerja.
- Pasal 34 : Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

BAB III
SOLUSI PELANGGARAN HAM TERHADAP PENGIDAP HIV/AIDS DI INDONESIA

Pencegahan HIV/AIDS dapat efektif apabila dilakukan dengan komitmen masyarakat melalui akses informasi yang benar dan tepat terkait penularan HIV/AIDS. Pemerintah melalui ratifikasi konvensi hak sipil politik dan hak ekonomi sosial dan budaya secara langsung telah memiliki komitmen politik untuk tidak melakukan diskriminasi dan memberikan hak-hak dasar kepada setiap orang termasuk kepada penderita HIV/AIDS, hal ini harus dapat sejalan juga dengan penegakkan aturan yang telah ada terkait HIV/AIDS Berikut ini beberapa kebijakan yang perlu dilakukan pemerintah dalam melindungi pengidap HIV/AIDS :
a) Asuransi Kesehatan. Pemerintah melakukan pembayaran premi untuk menjamin seluruh pengidap HIV/AIDS dapat menerima layanan kesehatan secara maksimal.
b) Hospital Care. Rumah sakit bertugas menyediakan tindakan klinis dalam menangani pengidap HIV/AIDS dari serangan virus yang semakin ganas dengan memberikan obat CRV, selain itu menyediakan layanan rehabilitasi psikologis juga untuk membangkitkan semangat pengidap HIV/AIDS merencanakan masa depan dan dapat diterima sebagai anggota masyarakat tanpa diskriminatif.
c)  Home Health Care. Rehabilitasi ini tujuannya adalah untuk melayani pengidap HIV/AIDS dalam kehidupan sehari-hari. Selain melayani, rehabilitasi yang dilakukan adalah mendorong pengidap HIV/AIDS dapat bergaul secara baik dengan masyarakat. Pada umumnya rehabilitasi tersebut menggunakan metode behaviouristik dan membekali klien dengan life skill atau vocational dan melibatkan pengidap HIV/AIDS dalam aktivitas pendidikan, sosialisasi, dan pelatihan.
d) Pendidikan dan sosisalisasi. Upaya ini ditujukan pada : pertama, pendidikan sejak usia dini tentang HIV/AIDS membawa dampak yang besar pada kesadaran diri tentang bahaya perilaku buruk yang dapat mengakibatkan tertular HIV, seperti seks bebas, penggunaan narkotika (jarum suntik). Kedua, pendidikan dan sosialisasi yang efektif di semua level dan kelompok masyrakat akan membawa hasil sikap yang menghargai keberadaan pengidap HIV/AIDS, tidak menyalahkan namun menempatakan mereka sebagai korban dan tidak diskriminatif.
e)     Bantuan sosial. Pemberian dana secara langsung merupakan tugas dan tanggung jawab negara pada rakyatnya, terutama pada kelompok yang kurang beruntung (disadvantages group). Diharapkan para pengidap HIV/AIDS dapat bertahan hidup secara layak di tengah arus diskriminasi di wilayah ekonomi dan pendidikan melalui tunjangan hidup dan modal usaha.

Masyarakat harus mempunyai pengetahuan yang utuh terkait  HIV/AIDS dan melalui pengetahuan tersebut, masyarakat menjadi tidak melakukan perlakuan yang berbeda terhadap penderita HIV/AIDS.

BAB IV
KESIMPULAN

      Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa masih banyak terjadi diskriminasi terhadap pengidap HIV/AIDS di Indonesia dalam berbagai bidang. Mulai dari keluarga, layanan kesehatan, pemerintah hingga di tengah masyarakat sendiri para pengidap HIV/AIDS masih sering tidak dapat menikmati hak-haknya sebagai manusia. Walaupun peraturan-peraturan maupun kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan HIV/AIDS sudah ada, namun dalam kenyataannya aturan tersebut belum terlaksana dengan baik. Maka dari itu, pemerintah harus mengkaji kembali, mensosialisasikan, menerapkan serta melakukan pengawasan peraturan-peraturan mengenai perlindungan terhadap HIV/AIDS. Masyarakat serta lembaga-lembaga yang lainnya pun harus turut serta membantu peran pemerintah dalam pelaksanaannya sehingga timbul kesadaran dan kepedulian terhadap pengidap HIV/AIDS serta mencegah korban virus HIV/AIDS dan diskriminasi dalam masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA
Knut D. Asplund, Suparman Marzuki, Eko Riyadi, Hukum Hak Asasi Manusia/Rhona K. M. Smith, at.al, Yogyakarta: PUSHAM UII, 2008, hlm. 40
Ibid, hlm. 11
Ibid, hlm. 69
Indar, Etika dan Hukum Kesehatan, Makassar : Lembaga Penerbitan Universitas Hasanuddin (Lephas), 2010
http://health.liputan6.com/read/2557963/kasus-baru-hivaids-di-indonesia-terus-meningkat
https://gudeg.net/read/9464/hari-aids-sedunia-2016-oleh-dr.-fx.-wikan-indrarto.html
http://www.yaids.com/materi.php, Yayasan Aids Indonesia, Materi HIV/AIDS ,  diakses 24 November 2016
http://www.yaids.com/materi/M-5780-Final%20Laporan%20HIV%20AIDS%20TW%201%202016.pdf, KEMENTRIAN KESEHATAN RI, Laporan Perkembangan HIV-AIDS Triwulan I Tahun 2016, Tabel 5 Jumlah Infeksi HIV yang Dilaporkan Provinsi sampai dengan Maret 2016,PM.07.01/D1/III.3/Ke/2016, 18-05-2016, diakses 27 November 2016
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/33880/4/Chapter%20II.pdf, Universitas Sumatera Utara, Chapter II pdf, diakses 27 November 2016
http://www.unaids.org/sites/default/files/media_asset/AIDS-by-the-numbers-2016_en.pdfa, diakses 30 November 2016
http://www.who.int/hiv/pub/guidelines/who_ilo_guidelines_indonesian.pdf, diakses 30 November 2016

http://www.ilo.int/wcmsp5/groups/public/---asia/---ro-bangkok/---ilo-jakarta/documents/publication/wcms_235223.pdf, diakses 30 November 2016